Ingin Menjajal Tol Termahal Di Dunia, Hanya Ada Di Jepang...
Rogoh Kocek Rp4 Juta Tempuh 1.600 Km Sudah sepekan ini pemerintah Jepang memberlakukan kenaikan tarif tol. Tidak tanggung-tanggung, besarnya lima kali lipat dari tarif sebelumnya. Padahal, tarif sebelumnya sudah yang termahal di dunia. Tol yang panjangnya 8 km, tarifnya 1.800 yen atau sekitar Rp180 ribu.
Inilah salah satu cara paling efektif untuk mencari dana recovery pascamusibah tsunami yang melantakkan Provinsi Sendai, Fukushima, dan Miyagi 11 Maret lalu. Dari sektor jalan tol, pemerintah butuh 1 triliun yen atau sekitar Rp100 triliun rupiah untuk membangun lagi bekas wilayah yang tersapu bencana yang menewaskan 30 ribu jiwa tersebut.
Dana sebesar itu ingin didapat dalam tempo setahun. Itu sebabnya, tidak ada jalan lain sehingga tarif tol dinaikkan, rata-rata lima kali lipat dari tarif sebelumnya. Kalkulasinya memang memungkinkan. Di jalanan Jepang, beredar 80 juta mobil dari 120 juta penduduknya. Tiap keluarga memiliki dua atau tiga mobil. Dari jumlah itu, 85 persen pengguna tol.
Dengan menaikkan tarif tol, semua masyarakat pasti terlibat untuk membangun lagi negaranya dan menolong saudara-saudaranya yang tertimpa musibah.
Tol di Jepang sudah menembus seluruh wilayah.
Mulai Nagasaki di Pulau Kyushu; menembus pulau terbesar Honshu, yang terdapat kota terpadat Tokyo dan provinsi kembarnya Jatim, yaitu Hiroshima; bersambung ke Pulau Shikoku, yang terdapat kota kembarnya Surabaya, yaitu Kochi; terus tembus ke pulau-pulau kecilnya.
Tol tertuanya, Meishing, yang berusia 50 tahun, membentang mulai Kobe, Nagoya, sampai menembus Tokyo. Jaraknya 600 km. Semua tol telah dihubungkan dengan jembatan-jembatan indah yang jalannya tersusun berlapis; mobil dan motor besar di bagian atas dan jalur kereta api di bawahnya.
Menerobos ratusan terowongan yang terpanjang adalah terowongan Shimisu untuk kereta api dan terowongan Seika di bawah laut Hokaido, masing-masing sepanjang 20 km. Semua jembatan yang menyeberangi lautan membentang tinggi, sehingga bagian bawahnya bisa dilalui kapal bertonase besar. Tidak ada kapal besar yang harus cari jalur lain karena jembatan tol seperti Suramadu, misalnya.
Menelusuri tol di musim semi menjelang musim panas pada Juni-Juli seperti ini cukup menyenangkan. Pemandangan yang membentang di kiri dan kanan sungguh indah. Momiji dan sakura yang biasanya berbunga pascamusim salju pada April ikut menghijau lebat meski tanpa bunga. Gunung-gunung di sepanjang jalan serasa memeluk dari belakang.
Kalau kita sudah sangat bangga dengan memiliki tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta-Bandung lengkap dengan pemandangannya serta Jembatan Suramadu untuk Surabaya-Madura, rasanya perlu menelusuri jalan tol, terowongan, dan jembatan di Jepang supaya tergairahkan untuk membuat yang jauh lebih baik lagi.
Sepanjang 1.997 km jalan yang saya lewati, 1.600 km di antaranya tol ini saya ukur dari argometer Toyota Regius (seperti Alphard dengan BBM solar) yang saya gunakan sejak tiba di Osaka sampai kembali ke Osaka. Semuanya bertanda jelas.
Tidak ada markah yang buram. Tidak ada polisi tidur. ”Polisi tidur kecil”, yang di sini digunakan untuk mengejutkan pengemudi supaya tidak mengantuk, di sana hanya segaris di kiri kanan jalan untuk mengingatkan bahwa mobil mulai keluar jalur. Jika kendaraan mulai keluar jalur, menginjak marka, termasuk melaju melebihi atau kurang dari batas kecepatan, peringatan dari transponder transducer yang terangkai menjadi satu dengan monitor mobil ”berteriak”.
Memang semua mobil yang masuk tol terhubung dengan GPS (global positioning system). GPS itu memandu sekaligus memperingatkan pengendara. Juga suatu saat kalau pengendara melanggar, otomatis muncul data pelanggaran. GPS menjadi segala-galanya di Jepang. Terutama untuk lalu lintas.
Mencari alamat tidak perlu sulit-sulit, apalagi harus turun dari kendaraan untuk bertanya. Cukup memasukkan alamat, jalur yang mengantar ke alamat tersebut akan muncul di monitor dari titik kendaraan berada.
Kalau lupa alamat, cukup menuliskan nomor telepon. Bisa juga nama kantor, toko, restoran, apa saja, bahkan nama orang, asal lengkap. Sistem monitoring dengan GPS berbasis satelit seperti itu juga diterapkan di banyak bisnis. Bahkan, para tahanan di lembaga pemasyarakatan menggunakan nameplate pada baju mereka, yang dihubungkan ke satelit untuk dimonitor.
Memberikan nama untuk apa saja yang berkaitan dengan publik, terutama nama jalan, selalu mencerminkan daerahnya atau wilayah yang terhubungkan. Terowongan maupun sungai-sungai dan jembatan juga gampang dikenali. Semua terukur sampai luasannya dan terdata di GPS.
Kemudahan mengakses dan melihat tanda itu juga ditemui di pintu-pintu dan rambu sambungan tol. Terutama kalau kita deg-degan dengan berapa lagi uang yang harus kita keluarkan untuk bayar tol. Bertanda biru muda ketika kita memasuki pintu tol, itu berarti tol milik negara. Tarif tolnya paling murah meski jaraknya jauh. Yang bertanda biru tua adalah tol milik provinsi.
Tarifnya agak mahal dan jaraknya lebih dekat. Ada juga yang bertanda hijau. Itu yang termahal dengan jarak lebih pendek serta milik dan dikelola daerah. Ketika lepas dari tol di Kochi dan menyeberangi pulau kecil Naruto, yang terdapat Kota Awaji –seperti Bali kecil yang terkenal dengan udong-nya—dengan jarak kira-kira hanya 8 km, tarif tolnya 1.800 yen atau setara dengan Rp180 ribu.
Itu tarif setelah kenaikan. Tol seperti itu sambung-menyambung, berganti-ganti warna, yang menandakan ganti wilayah. Kalau kita tidak keluar dan terus, lihat saja di palang pintu otomatisnya, tarifnya muncul. Kecepatan melewati tiap pintu tol adalah 20 km/jam. Palang pintu membuka otomatis dengan kecepatan tidak sampai sedetik.
Saat melewati pintu tol otomatis, pengendara tidak perlu membuka kaca. Dari transponder transducer yang terangkai dengan monitor dalam mobil, cukup untuk semuanya. Sebab, alat itu menunjukkan siapa pemiliknya dan berapa uangnya di bank yang disisihkan untuk bayar tol. Uang tersebut terdebet langsung dan otomatis dikurangi untuk bayar tol.
Enaknya berlangganan seperti itu, selain cepat, pengguna didiskon 30 persen. Bisa juga yang langsung bayar. Pengendara harus keluar ke jalur lain yang bertanda ETC (electronic true card). Cara itu lebih mahal 30 persen karena di sana memerlukan petugas jaga yang harus melayani.
Menyetir mobil di tol Jepang pun, pengendara tidak akan merasa lelah. Selain jalur dan kecepatan selalu terukur dalam panduan GPS, jalannya terasa ikut menyetir. Misalnya, melepas setir untuk jarak yang lumayan panjang, mobil—yang spooring balancing-nya bagus—tidak akan berbelok atau pindah jalur sendiri karena jalannya mulus dan rata. Untuk tikungan pun, jalan digarap sedemikian rupa sehingga mobil seperti bisa melaju sendiri mengikuti jalan.
Hampir tidak ditemukan jalan menanjak atau menurun. Mereka memilih membuat terowongan, menembus gunung dan perbukitan daripada memaksakan jalan menanjak atau menurun. Rest area-nya juga sangat memadai. Klosetnya, tinggal tombol. Semua menggunakan semprot otomatis dengan air hangat. Biliknya berjajar puluhan. Tersedia air minum dan teh hangat pula. Restoran dan supermarket yang diperbolehkan berjualan terstandar. Beberapa di antaranya menggelar dagangan dari olahan hasil bumi setempat.
Saya menelusuri mulai bagian tengah Jepang, yaitu Osaka; terus menuju utara; agak ke barat; melewati jalur yang menghadap Lautan Pasifik; kembali ke tengah melalui jalur lain yang menghadap lautan baliknya, yaitu Laut Jepang; terus ke selatan; menyeberang ke Pulau Shikoku; tembus ke pulau kecil Naruto; lantas kembali ke Osaka. Total jarak yang saya tempuh dalam tujuh hari dari sembilan hari saya bertugas di Jepang adalah 1.997 km.
Dari keseluruhan jarak perjalanan tersebut, dibutuhkan 80 persen tol atau sekitar 1.600 km. Kira-kira dari Surabaya menuju Jakarta lewat selatan dan balik lagi ke Semarang melalui pantura, melewati beberapa tol negara, tol antarprovinsi, serta tol daerah. Total biaya tolnya saja 39.800 yen atau setara dengan Rp4 juta.
Sungguh tidak murah. Pada awalnya, masyarakat menggerutu atas kenaikan itu. Tapi, pemerintah jalan terus. Penjelasan lewat semua media digencarkan. Ada countdown di TV. Juga, satu hari sebelum kenaikan tarif, yaitu 19 Juni, tepat Minggu saat saya tiba di Osaka dan memulai perjalanan ini, jalan sangat ramai. Motor-motor besar di atas 1.000 cc ikut meramaikan perjalanan bersama mobil-mobil beraneka jenis. Mereka bersama keluarga menikmati hari terakhir sebelum tarif tol naik.
Besoknya, ketika tarif baru mulai diberlakukan, tol sepi. Tapi, tiga hari kemudian, kondisi tampak normal lagi. Lalu lalang mobil kembali tampak seperti biasanya. Tsuruno Keisuke, pengusaha yang membantu banyak pemagang dari Jatim bekerja di Jepang, mengatakan bahwa kenaikan tarif tol itu memang mencekik. Tapi, dia rela demi perbaikan dan kemajuan mendatang. Apalagi untuk kemanusiaan pascabencana.
belajar-nihongo
Inilah salah satu cara paling efektif untuk mencari dana recovery pascamusibah tsunami yang melantakkan Provinsi Sendai, Fukushima, dan Miyagi 11 Maret lalu. Dari sektor jalan tol, pemerintah butuh 1 triliun yen atau sekitar Rp100 triliun rupiah untuk membangun lagi bekas wilayah yang tersapu bencana yang menewaskan 30 ribu jiwa tersebut.
Dana sebesar itu ingin didapat dalam tempo setahun. Itu sebabnya, tidak ada jalan lain sehingga tarif tol dinaikkan, rata-rata lima kali lipat dari tarif sebelumnya. Kalkulasinya memang memungkinkan. Di jalanan Jepang, beredar 80 juta mobil dari 120 juta penduduknya. Tiap keluarga memiliki dua atau tiga mobil. Dari jumlah itu, 85 persen pengguna tol.
Dengan menaikkan tarif tol, semua masyarakat pasti terlibat untuk membangun lagi negaranya dan menolong saudara-saudaranya yang tertimpa musibah.
Tol di Jepang sudah menembus seluruh wilayah.
Mulai Nagasaki di Pulau Kyushu; menembus pulau terbesar Honshu, yang terdapat kota terpadat Tokyo dan provinsi kembarnya Jatim, yaitu Hiroshima; bersambung ke Pulau Shikoku, yang terdapat kota kembarnya Surabaya, yaitu Kochi; terus tembus ke pulau-pulau kecilnya.
Tol tertuanya, Meishing, yang berusia 50 tahun, membentang mulai Kobe, Nagoya, sampai menembus Tokyo. Jaraknya 600 km. Semua tol telah dihubungkan dengan jembatan-jembatan indah yang jalannya tersusun berlapis; mobil dan motor besar di bagian atas dan jalur kereta api di bawahnya.
Menerobos ratusan terowongan yang terpanjang adalah terowongan Shimisu untuk kereta api dan terowongan Seika di bawah laut Hokaido, masing-masing sepanjang 20 km. Semua jembatan yang menyeberangi lautan membentang tinggi, sehingga bagian bawahnya bisa dilalui kapal bertonase besar. Tidak ada kapal besar yang harus cari jalur lain karena jembatan tol seperti Suramadu, misalnya.
Menelusuri tol di musim semi menjelang musim panas pada Juni-Juli seperti ini cukup menyenangkan. Pemandangan yang membentang di kiri dan kanan sungguh indah. Momiji dan sakura yang biasanya berbunga pascamusim salju pada April ikut menghijau lebat meski tanpa bunga. Gunung-gunung di sepanjang jalan serasa memeluk dari belakang.
Kalau kita sudah sangat bangga dengan memiliki tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta-Bandung lengkap dengan pemandangannya serta Jembatan Suramadu untuk Surabaya-Madura, rasanya perlu menelusuri jalan tol, terowongan, dan jembatan di Jepang supaya tergairahkan untuk membuat yang jauh lebih baik lagi.
Sepanjang 1.997 km jalan yang saya lewati, 1.600 km di antaranya tol ini saya ukur dari argometer Toyota Regius (seperti Alphard dengan BBM solar) yang saya gunakan sejak tiba di Osaka sampai kembali ke Osaka. Semuanya bertanda jelas.
Tidak ada markah yang buram. Tidak ada polisi tidur. ”Polisi tidur kecil”, yang di sini digunakan untuk mengejutkan pengemudi supaya tidak mengantuk, di sana hanya segaris di kiri kanan jalan untuk mengingatkan bahwa mobil mulai keluar jalur. Jika kendaraan mulai keluar jalur, menginjak marka, termasuk melaju melebihi atau kurang dari batas kecepatan, peringatan dari transponder transducer yang terangkai menjadi satu dengan monitor mobil ”berteriak”.
Memang semua mobil yang masuk tol terhubung dengan GPS (global positioning system). GPS itu memandu sekaligus memperingatkan pengendara. Juga suatu saat kalau pengendara melanggar, otomatis muncul data pelanggaran. GPS menjadi segala-galanya di Jepang. Terutama untuk lalu lintas.
Mencari alamat tidak perlu sulit-sulit, apalagi harus turun dari kendaraan untuk bertanya. Cukup memasukkan alamat, jalur yang mengantar ke alamat tersebut akan muncul di monitor dari titik kendaraan berada.
Kalau lupa alamat, cukup menuliskan nomor telepon. Bisa juga nama kantor, toko, restoran, apa saja, bahkan nama orang, asal lengkap. Sistem monitoring dengan GPS berbasis satelit seperti itu juga diterapkan di banyak bisnis. Bahkan, para tahanan di lembaga pemasyarakatan menggunakan nameplate pada baju mereka, yang dihubungkan ke satelit untuk dimonitor.
Memberikan nama untuk apa saja yang berkaitan dengan publik, terutama nama jalan, selalu mencerminkan daerahnya atau wilayah yang terhubungkan. Terowongan maupun sungai-sungai dan jembatan juga gampang dikenali. Semua terukur sampai luasannya dan terdata di GPS.
Kemudahan mengakses dan melihat tanda itu juga ditemui di pintu-pintu dan rambu sambungan tol. Terutama kalau kita deg-degan dengan berapa lagi uang yang harus kita keluarkan untuk bayar tol. Bertanda biru muda ketika kita memasuki pintu tol, itu berarti tol milik negara. Tarif tolnya paling murah meski jaraknya jauh. Yang bertanda biru tua adalah tol milik provinsi.
Tarifnya agak mahal dan jaraknya lebih dekat. Ada juga yang bertanda hijau. Itu yang termahal dengan jarak lebih pendek serta milik dan dikelola daerah. Ketika lepas dari tol di Kochi dan menyeberangi pulau kecil Naruto, yang terdapat Kota Awaji –seperti Bali kecil yang terkenal dengan udong-nya—dengan jarak kira-kira hanya 8 km, tarif tolnya 1.800 yen atau setara dengan Rp180 ribu.
Itu tarif setelah kenaikan. Tol seperti itu sambung-menyambung, berganti-ganti warna, yang menandakan ganti wilayah. Kalau kita tidak keluar dan terus, lihat saja di palang pintu otomatisnya, tarifnya muncul. Kecepatan melewati tiap pintu tol adalah 20 km/jam. Palang pintu membuka otomatis dengan kecepatan tidak sampai sedetik.
Saat melewati pintu tol otomatis, pengendara tidak perlu membuka kaca. Dari transponder transducer yang terangkai dengan monitor dalam mobil, cukup untuk semuanya. Sebab, alat itu menunjukkan siapa pemiliknya dan berapa uangnya di bank yang disisihkan untuk bayar tol. Uang tersebut terdebet langsung dan otomatis dikurangi untuk bayar tol.
Enaknya berlangganan seperti itu, selain cepat, pengguna didiskon 30 persen. Bisa juga yang langsung bayar. Pengendara harus keluar ke jalur lain yang bertanda ETC (electronic true card). Cara itu lebih mahal 30 persen karena di sana memerlukan petugas jaga yang harus melayani.
Menyetir mobil di tol Jepang pun, pengendara tidak akan merasa lelah. Selain jalur dan kecepatan selalu terukur dalam panduan GPS, jalannya terasa ikut menyetir. Misalnya, melepas setir untuk jarak yang lumayan panjang, mobil—yang spooring balancing-nya bagus—tidak akan berbelok atau pindah jalur sendiri karena jalannya mulus dan rata. Untuk tikungan pun, jalan digarap sedemikian rupa sehingga mobil seperti bisa melaju sendiri mengikuti jalan.
Hampir tidak ditemukan jalan menanjak atau menurun. Mereka memilih membuat terowongan, menembus gunung dan perbukitan daripada memaksakan jalan menanjak atau menurun. Rest area-nya juga sangat memadai. Klosetnya, tinggal tombol. Semua menggunakan semprot otomatis dengan air hangat. Biliknya berjajar puluhan. Tersedia air minum dan teh hangat pula. Restoran dan supermarket yang diperbolehkan berjualan terstandar. Beberapa di antaranya menggelar dagangan dari olahan hasil bumi setempat.
Saya menelusuri mulai bagian tengah Jepang, yaitu Osaka; terus menuju utara; agak ke barat; melewati jalur yang menghadap Lautan Pasifik; kembali ke tengah melalui jalur lain yang menghadap lautan baliknya, yaitu Laut Jepang; terus ke selatan; menyeberang ke Pulau Shikoku; tembus ke pulau kecil Naruto; lantas kembali ke Osaka. Total jarak yang saya tempuh dalam tujuh hari dari sembilan hari saya bertugas di Jepang adalah 1.997 km.
Dari keseluruhan jarak perjalanan tersebut, dibutuhkan 80 persen tol atau sekitar 1.600 km. Kira-kira dari Surabaya menuju Jakarta lewat selatan dan balik lagi ke Semarang melalui pantura, melewati beberapa tol negara, tol antarprovinsi, serta tol daerah. Total biaya tolnya saja 39.800 yen atau setara dengan Rp4 juta.
Sungguh tidak murah. Pada awalnya, masyarakat menggerutu atas kenaikan itu. Tapi, pemerintah jalan terus. Penjelasan lewat semua media digencarkan. Ada countdown di TV. Juga, satu hari sebelum kenaikan tarif, yaitu 19 Juni, tepat Minggu saat saya tiba di Osaka dan memulai perjalanan ini, jalan sangat ramai. Motor-motor besar di atas 1.000 cc ikut meramaikan perjalanan bersama mobil-mobil beraneka jenis. Mereka bersama keluarga menikmati hari terakhir sebelum tarif tol naik.
Besoknya, ketika tarif baru mulai diberlakukan, tol sepi. Tapi, tiga hari kemudian, kondisi tampak normal lagi. Lalu lalang mobil kembali tampak seperti biasanya. Tsuruno Keisuke, pengusaha yang membantu banyak pemagang dari Jatim bekerja di Jepang, mengatakan bahwa kenaikan tarif tol itu memang mencekik. Tapi, dia rela demi perbaikan dan kemajuan mendatang. Apalagi untuk kemanusiaan pascabencana.
belajar-nihongo
0 Response to "Ingin Menjajal Tol Termahal Di Dunia, Hanya Ada Di Jepang..."
Posting Komentar